This site uses cookies.
Some of these cookies are essential to the operation of the site,
while others help to improve your experience by providing insights into how the site is being used.
For more information, please see the ProZ.com privacy policy.
Freelance translator and/or interpreter, Verified site user
Data security
This person has a SecurePRO™ card. Because this person is not a ProZ.com Plus subscriber, to view his or her SecurePRO™ card you must be a ProZ.com Business member or Plus subscriber.
Affiliations
This person is not affiliated with any business or Blue Board record at ProZ.com.
English to Indonesian: Art Exhibition Catalogs General field: Art/Literary Detailed field: Art, Arts & Crafts, Painting
Source text - English http://jakartabiennale.net/en/pawel-althamer-2/
http://jakartabiennale.net/en/otty-widasari-2/
http://jakartabiennale.net/en/emkal-eyongakpa-2/
Translation - Indonesian http://jakartabiennale.net/pawel-althamer/
http://jakartabiennale.net/otty-widasari/
http://jakartabiennale.net/emkal-eyongakpa/
English to Indonesian: Property Platform General field: Marketing Detailed field: Real Estate
Source text - English http://homeklik.com/en
Translation - Indonesian http://homeklik.com/id
English to Indonesian: The Shadow of the Sun (Ryszard Kapuscinski) General field: Art/Literary Detailed field: Journalism
Source text - English I lived in Africa for several years. I first went there in 1987. Then, over the next forty years, I returned whenever the opportunity arose. I traveled extensively, avoiding official routes, palaces, important personages, and high-level politics. Instead, I opted to hitch rides on passing trucks, wander with nomads through the desert, be the guest of peasants of the tropical savannah. Their life is endless toil, a torment they endure with astonishing patience and good humor.
This is therefore not a book about Africa, but rather about some people from there—about encounters with them, and time spent together. The continent is too large to describe. It is a veritable ocean, a separate planet, a varied, immensely rich cosmos. Only with the greatest simplification, for the sake of convenience, can we say “Africa.” In reality, except as a geographical appellation, Africa does not exist.
(Ryszard Kapuscinski, 2008, The Shadow of the Sun, Victoria: Penguin Group (Australia, prologue)
“The manner in which elephants die was a secret Africans long guarded from the white man. The elephant is sacred, and so is his death. Everything sacred is surrounded by an impenetrable mystery. What caused the elephant to be so admired was that he had no enemies in the animal world. No other beast could conquer him. He could die (in the past) only a natural death. It occurred usually at dusk, when the elephants came to the water. They would stand at the edge of a lake or river, reach out far with their trunks, and drink. But the day would come when a tired old elephant could no longer raise his trunk, and to drink clear water he would have to walk farther and farther out into the lake. His legs would sink into its cavernous interior. He fought for a time, thrashed about, attempted to extricate himself from the bog and get back to the shore, but his own weight was so great, and the pull of the lake’s bottom so paralyzing, that finally the animal would lose its balance, fall, and vanish under the water forever.”
“There,” Dr. Patel finished, “on the bottoms of our lakes, are the age-old-elephant cemeteries.”
(Ryszard Kapuscinski, 2008, The Shadow of the Sun, Victoria: Penguin Group (Australia, p.60—61)
Translation - Indonesian Aku pernah tinggal selama beberapa tahun di Afrika. Pertama kalinya pada tahun 1957. Selama empat puluh tahun sesudahnya, aku selalu kembali lagi manakala ada kesempatan. Aku kerap bepergian menghindari jalur-jalur resmi, istana-istana, orang-orang penting, dan politik tingkat atas. Aku lebih memilih menumpang truk lewat, berkelana bersama para musafir melintasi gurun pasir, menjadi tamu para petani sabana tropis. Hidup ialah perjuangan tanpa akhir, cobaan yang mereka jalani dengan ketabahan yang menakjubkan dan humor nan apik.
Karena itulah buku ini bukan tentang Afrika, melainkan tentang beberapa sosok yang berasal dari sana-tentang pertemuan dan waktu yang kuhabiskan bersama mereka. Benua itu terlalu luas untuk digambarkan. Samudera yang sesungguhnya, planet yang terpisah, kosmos yang bervariasi dan teramat kaya. Hanya dengan penyederhanaan yang luar biasa, demi suatu kemudahan, kita bisa menyebutnya "Afrika". Kenyataannya, kecuali sebagai sebutan geografis, Afrika itu tak ada.
(Ryszard Kapuscinski, 2008, The Shadow of the Sun, Victoria: Penguin Group (Australia, prolog)
“Bagaimana para gajah menemui ajal adalah rahasia orang Afrika yang sedemikian lama dijaga dari orang kulit putih. Gajah adalah hewan sakral, begitu pula kematiannya. Segala yang sakral selalu diliputi misteri tak tertembus. Yang menyebabkan gajah sangat dihormati adalah bahwa ia tak punya satu pun musuh di dunia satwa. Tiada hewan lain yang sanggup menaklukannya. Di masa lampau gajah hanya bisa mati karena faktor alamiah. Biasanya terjadi di kala senja, ketika kawanan gajah mencari sumber air minum. Mereka berdiri di penjuru danau atau sungai dan menjangkau air yang jauh dengan belalai mereka dan meminumnya. Tapi suatu hari akan tiba tatkala seekor gajah tua nan letih tak mampu lagi mengangkat belalainya, dan untuk mendapat air yang jernih ia mesti berjalan lebih jauh ke tengah danau. Kakinya akan terperosok ke dalam kubangan cekung. Ia berontak sejenak, meronta-ronta, mencoba melepaskan diri dari tanah berlumpur dan kembali ke daratan. Namun tubuhnya sendiri teramat berat, dan tarikan dari dasar danau begitu melumpuhkan. Akhirnya sang gajah hilang keseimbangan, jatuh, dan lenyap ke bawah air selama-lamanya.”
“Di sana,” ucap Dr. Patel mengakhiri “di dasar danau-danau itulah, kuburan tua para gajah berada.”
(Ryszard Kapuscinski, 2008, The Shadow of the Sun, Victoria: Penguin Group (Australia, hlm.60—61)
French to Indonesian: Monsieur Ibrahim et les Fleurs du Coran ( Éric-Emmanuel Schmitt) General field: Art/Literary Detailed field: Poetry & Literature
Source text - French C’était l’heure de la sieste. Je me suis endormi contre l’arbre.
Lorsque je me suis réveillé, le jour c’était déjà enfui. J’ai attendu monsieur Ibrahim jusqu’à minuit. J’ai marché jusqu’au village suivant. Quand je suis arrivé sur sa place, les gens se sont précipités sur moi. Je ne comprenais pas leur langue, mais eux me parlaient avec animation, et ils semblaient très bien me connaître.
Il était étendu, couvert de plaies, de bleus, de sang. La voiture s’était plantée contre un mur.
Il avait l’air tout faible.
Je me suis jeté sur lui. Il a rouvert les yeux et sourir.
- Momo, le voyage s’arrête là.
- Mais non, on n’y est pas arrivées a votre mer de naissance.
- Si, moi j’y arrive. Toutes les branches du fleuve se jettent dans la même mer. La mer unique.
Là, ça s’est fait malgré moi, je me suis mis à pleurer.
- Momo, je ne suis pas content.
- J’ai peur pour vous, monsieur Ibrahim.
- Moi, je n’ai pas peur, Momo. Je sais ce qu’il y a dans mon Coran.
Ça, c’est une phrase qu’il aurait pas dû dire, ça m’a rappelé trop de bon souvenirs, et je me suis mis à sangloter encore plus.
- Momo, tu pleures sur toi-même, pas sur moi. Moi, j’ai bien vécu. J’ai vécu vieux. J’ai eu une femme, qui est morte il y a bien longtemps, mais que j’aime toujours autant. J’ai eu mon ami Abdullah, que tu salueras pour moi. Ma petite épicerie marchant bien. La rue Bleue, c’est une jolie rue, meme si elle n’est pas bleue. Et puis il y a eu toi.
Pour lui faire plasir, j’ai avalé toutes mes larmes, j’ai fait un effort e vlan: sourire!
Il était content. C’est comme si’il avait eu moins mal.
Vlan: sourire!
Il ferma doucement les yeuax.
- Monsieur Ibrahim!
- Chut…ne t’inquiète pas. Je ne meurs pas, Momo, je vais rejoindre l’immense.
Voila.
Je suis resté un peu. Avec son ami Abdullah, on a beaucoup parlé de papa. On a beaucoup de journees aussi.
Monsieur Abdullah, c’était comme un monsieur Ibrahim, mais un monsieur Ibrahim parcheminé, plein de mots rares, de poems sus par cœur, un monsieur Ibrahim qui aurait passé plus de temps à lire qu’à faire sonner sa caisse. Les heures où nous tournions au tekké, il appelait ça la danse de l’alchimie, la danse qui transforme le cuivre en or. Il citait souvent Rumi.
Translation - Indonesian Saat itu waktunya tidur siang. Aku terlelap di bawah pohon. Saat aku terbangun, siang sudah lenyap. Kutunggu Tuan Ibrahim hingga tengah malam. Kakiku melangkah hingga ke desa berikutnya. Saat aku sampai di sana, orang-orang bergegas menghampiriku. Aku tak paham bahasa mereka, tapi mereka bicara padaku dengan bahasa tubuh, dan nampaknya mereka benar-benar mengenalku.
Ia berbaring di sana, berselimut luka, memar dan darah. Mobilnya menubruk tembok.
Ia nampak sangat lemah.
Aku langsung menghambur ke arahnya. Ia membuka mata dan tersenyum.
- Momo, perjalananku berakhir di sini.
- Tidak, kita belum mencapai laut tempatmu berasal.
- Ya, aku bisa kesana. Semua anak sungai mengalir ke laut yang sama. Laut yang unik.
Begitulah semua terjadi di luar kuasaku. Aku mulai menangis.
- Momo, jangan membuatku merasa tak bahagia.
- Aku mencemaskanmu, Tuan Ibrahim.
- Tapi aku tak cemas, Momo. Aku tahu apa yang ada di dalam Quranku.
Kalimat itu seharusnya tak diucapkannya. Kalimat yang mengingatkanku pada begitu banyaknya kenangan indah, dan aku mulai terisak lagi.
- Momo, kau sedang menangisi dirimu sendiri, bukan aku. Hidupku baik. Umurku panjang. Aku memiliki istri yang telah sejak lama wafat, namun tetap aku cintai. Aku punya teman, Abdullah yang kepadanya akan kausampaikan salamku. Toko kelontong kecilku berjalan baik. Rue Bleue adalah jalanan yang cantik meskipun tak berwarna biru seperti namanya. Dan kau ada di situ.
Untuk menyenangkan hatinya, kutahan semua air mataku, kucoba sekuatnya dan 1,2,3: senyum!
Ia bahagia. Seolah sakitnya berkurang.
Tahan: senyum!
Ia mengatupkan kelopak matanya perlahan.
- Tuan Ibrahim!
- Ssst, jangan khawatir. Aku tak sekarat, Momo. Aku hendak menghadap Sang Agung.
Demikianlah akhirnya.
Aku tinggal sebentar di sana. Bersama kawannya, Abdullah, aku banyak membicarakan papa. Kami juga banyak menghabiskan waktu bersama.
Tuan Abdullah serupa Tuan Ibrahim yang kini telah terkubur, yang kaya akan kata-kata tak biasa, puisi-puisi yang begitu dihayatinya, ia yang lebih banyak menghabiskan waktu untuk membaca ketimbang menimbun pundi-pundi uangnya. Ada saatnya kami bertakiyah yang ia sebut tarian alkemis, tarian yang mengubah tembaga menjadi emas. Ia sering mengutip Rumi.
English to Indonesian: Academic Journal General field: Science Detailed field: Nuclear Eng/Sci
Source text - English How were the studies conducted?
Biomarker selection
All of the studies shown in Table 1 employed 13C-based SIP; therefore, all had a shared goal of deciphering the complexity of naturally occurring microbial populations and identifying community members that assimilated the substrate-delivered 13C atoms into biomass. Aside from this commonality, the studies exhibit many variations that reflect the combined idiosyncracies of project aims and investigator expertise. For example, the accepted taxonomically informative biomarkers used in environmental microbiology are DNA, RNA and phospholipid fatty acids (PLFA); all three of these are represented in the studies and each has its strengths and weaknesses [2,3,7–9]. DNA- and RNA-SIP are usually aimed at discovering 16S ribosomal RNA gene sequences, hence taxa. Relative to taxonomic insights from PLFA assays, the 16S rRNA gene database is robust and offers strong capabilities for resolving close relatives. Some SIP practitioners favor RNA (rRNA reverse transcribed into cDNA sequences) because RNA synthesis can be rapid and is hence indicative of active populations. In addition, labeling can occur without the need for DNA synthesis and replication [10,11]. The study by Manefield et al. [10] was the first to apply denaturing gradient gel electrophoresis (DGGE)-based community fingerprinting to 13C-separated rRNA; transfer of the 13C label from one population to another was demonstrated.
Translation - Indonesian Bagaimana penelitian tersebut dilakukan?
Seleksi Biomarker
Semua penelitian yang ditampilkan pada Tabel 1 menggunakan SIP berbasis 13C; oleh karena itu, semuanya sama-sama bertujuan menguraikan kompleksitas populasi mikroba alami dan mengidentifikasi anggota komunitas yang mengasimilasi atom-atom 13C lepasan substrat menjadi biomassa. Selain kesamaan ini, penelitian menunjukkan sejumlah variasi yang mencerminkan suatu paduan keunikan antara tujuan proyek dan keahlian peneliti. Sebagai contoh, biomarker informatif yang dapat diterima secara taksonomi untuk digunakan dalam mikrobiologi lingkungan adalah DNA, RNA, dan asam lemak fosfolipid (PLFA/phospholipid fatty acids);ketiganya terwakili dalam penelitian-penelitian tersebut dan masing-masing memiliki kelebihan serta kekurangannya sendiri [2,3,7—9]. DNA dan RNA-SIP biasanya ditujukan untuk menemukan sekuen gen RNA ribosom 16S, terutama taksa. Bergantung pada pengetahuan taksonomi dari uji PLFA, basis data gen 16S rRNA bersifat kuat dan menawarkan kemampuan yang meyakinkan untuk mengatasi hubungan kekerabatan. Beberapa praktisi SIP menyukai RNA (rRNA ditranskripsi balik menjadi urutan cDNA), karena sintesis RNA dapat berlangsung cepat dan merupakan indikasi populasi aktif. Selain itu, pelabelan dapat terjadi tanpa memerlukan sintesis dan tiruan DNA [10,1]. Penelitian oleh Manefield dkk. [10] adalah penelitian pertama yang menerapkan sidik jari komunitas berbasis denaturing gradien gel electrophoresis (DCGE) pada pemisahan 13C rRNA: pemindahan label 13C dari satu populasi ke populasi lainnya telah dipraktikkan.
English to Indonesian: Academic paper General field: Medical Detailed field: Medical: Dentistry
Source text - English Before beginning the examination, patients were asked about their satisfaction level with the prostheses. This is a very important criterion and does not always correlate with the outcomes score from other criteria. Patients with a positive attitude towards their RPDs could function satisfactorily even though their RPDs were poorly designed; whereas patients who have a poor attitude toward their RPDs may not be satisfied even with excellent or acceptable RPDs. Thus, although the other criteria are important, patient acceptance is an absolutely critical. Stability of the prosthesis was determined by the amount of movement observed when moderate unilateral apically directed pressure was applied on the occlusal surface of the RPD. This movement was recorded in millimetres. Likewise, with Kennedy Class IV RPDs, the moderate apically directed pressure was applied to the incisal surface of the replacement teeth of the RPD and any movement observed was recorded. Support for the prosthesis was evaluated by applying bilateral vertical pressure apically and determining the resistance to displace-ment towards the tissues. Retention was assessed by determining the force required to vertically displace and remove the RPD away from the alveolar ridge. The assessors would remove the RPD using both hands by applying bilateral force directed coronally along the path of insertion of the prosthesis. The adaptation of RPD components, such as major connectors, minor connectors, direct and indirect retainers, and the denture base were determined visually and by an explorer and probing instrument.
Translation - Indonesian Sebelum memulai pengujian,para pasien ditanya mengenai tingkat kepuasan mereka terhadap protesis. Hal ini merupakan kriteria yang sangat penting dan tidak selalu berkorelasi dengan skor dari kriteria lainnya. Pasien dengan sikap positif terhadap GTSL (Gigi Tiruan Sebagian Lepasan) mampu memfungsikan GTSL mereka secara memuaskan meskipun GTSL tersebut didesain dengan buruk; sementara pasien yang memiliki sikap negatif terhadap GTSL barangkali tidak akan puas meskipun GTSL-nya tergolong sempurna atau layak. Oleh karena itu, meskipun kriteria-kriteria lainnya penting, keberterimaan pasien juga benar-benar dibutuhkan.
Stabilitas protesis (gigi tiruan) ditentukan dari banyaknya pergerakan yang diamati ketika tekanan (kunyah) unilateral skala medium (sedang) ke arah apikal (ujung lidah) dibebankan pada permukaan oklusal GTSL. Pergerakan ini dicatat dalam satuan milimeter. Demikian halnya pada GTSL Kennedy Kelas IV, tekanan skala medium ke arah apikal dilakukan pada permukaan insisal gigi pengganti, dan dilakukan pencatatan atas setiap pergerakan yang teramati. Aspek dukungan protesis dievaluasi dengan memberi tekanan kunyah vertikal bilateral ke arah apikal dan memastikan ketahanan penggantian gigi tersebut terhadap jaringan-jaringan sel. Retensi dinilai dengan cara memastikan daya yang dibutuhkan untuk mengganti dan melepas GTSL secara vertikal dari lengkung gusi. Penguji akan melepas GTSL menggunakan kedua tangan dengan memberikan tekanan bilateral ke arah mahkota gigi sepanjang lintasan pemasangan protesis. Adaptasi komponen-komponen GTSL, seperti konektor mayor, konektor minor, retainer langsung maupun tak langsung, dan plat gigi tiruan diamati secara visual(kasat mata) dan dengan menggunakan instrumen eksplorasi dan penyidikan.
More
Less
Translation education
Bachelor's degree - University of Indonesia
Experience
Years of experience: 11. Registered at ProZ.com: May 2015.
Get help on technical issues / improve my technical skills
Learn more about additional services I can provide my clients
Stay up to date on what is happening in the language industry
Transition from freelancer to agency owner
Improve my productivity
Bio
I am a freelance writer, editor, translator and researcher based in Bogor, Indonesia. I’ve been in love with translation business since 2016. I can translate 20 pages per day from English and French into Indonesian. For further information, please kindly reach me at [email protected].