This site uses cookies.
Some of these cookies are essential to the operation of the site,
while others help to improve your experience by providing insights into how the site is being used.
For more information, please see the ProZ.com privacy policy.
This person has a SecurePRO™ card. Because this person is not a ProZ.com Plus subscriber, to view his or her SecurePRO™ card you must be a ProZ.com Business member or Plus subscriber.
Affiliations
This person is not affiliated with any business or Blue Board record at ProZ.com.
Open to considering volunteer work for registered non-profit organizations
Rates
English to Indonesian - Rates: 0.06 - 0.09 USD per word Indonesian to English - Rates: 0.07 - 0.11 USD per word
Portfolio
Sample translations submitted: 6
English to Indonesian: A Tale of the Ragged Mountain -Edgar Allan Poe , 1844 General field: Art/Literary
Source text - English “I now rose hurriedly, and in a state of fearful agitation—for the fancy that I dreamed would serve me no longer. I saw—I felt that I had perfect command of my senses—and the senses now brought my soul a world of novel and singular sensation. The heat became all at once intolerable. A strange odour loaded the breeze. A low, continues murmur, like that arising from a full, but gently flowing river, came to my ears, intermingled with the peculiar hum of multitudinous human voices.
“While I listened in an extremity of astonishment which I need not attempt to describe, a strong and brief gust of wind bore off the incumbent fog as if by the wand of an enchanter.
“I found myself at the foot of a high mountain, and looking down into a vast plain, through which wound a majestic river. On the margin of this river stood an Eastern-looking city, such as we read of in the Arabian Tales, but of a character even more singular than any there described. From my position, which was far above the level of the town, I could perceive its every nook and corner, as if delineated on a map. The streets seemed innumerable, and crossed each other irregularly in all directions, but rather long winding alleys than streets, and absolutely swarmed with inhabitants. The houses were wildly picturesque. On every hand was a wilderness of balconies, verandas, of minarets, of shrines, and fantastically carved oriels. Bazaars abounded; and there displayed rich wares in infinite variety and profusion—silks, muslins, the most dazzling cutlery, the most magnificent jewel and gems. Beside these things, were seen, on all sides, banners and palanquins, littered with stately dames close-veiled, elephants gorgeously caparisoned, idols grotesquely hewn, drums, banners and gongs, spears, silver, and gilded maces. And amid the crowd, and the clamor, and the general intricacy and confusion—amid the million of black and yellow men, turbaned and robed, and of flowing bears, there roamed a countless multitude of holy filleted bulls, while vast legions of the filthy but sacred aped clambered, chattering and shrieking, about the cornices of the mosques, or clung to the minarets and oriels. From the swarming streets to the banks of the rivers, there descended innumerable flights of steps leading to a bathing places, while the river itself seemed to force a passage with difficulty through the vast fleets of deeply burdened ships that far and wide encountered its surface. Beyond the limits of the city arose, in frequent majestic groups, the palm and the cocoa, with other gigantic and weird trees of vast ages; and here and there might be seen a field of rice, the thatched hut of a peasant, a tank, a stray temple, a gipsy camp, or a solitary graceful maiden taking her way, with a pitcher upon her head, to the banks of the magnificent rivers.
Translation - Indonesian “Aku sekarang bangkit tergesa-gesa, dan dalam keadaan bergejolak takut—sebab berpikir bahwa aku bermimpi tak ada gunanya lagi bagiku. Aku melihat—aku merasakan bahwa aku memiliki kendali sempurna terhadap indra-indraku—dan indra-indra itu sekarang membawakan jiwaku sebuah dunia dengan sensasi-sensasi yang belum pernah ada dan ganjil. Rasa panas sekonyong-konyong menjadi tak tertolerir. Sebuah bau aneh memenuhi sepoi angin. Sebuah gumam, rendah sambung menyambung, bak yang naik dari sungai penuh namun mengalir lembut, menyongsong telingaku, berpadu bersama senandung ganjil suara-suara manusia yang tak terkira jumlahnya.
“Ketika aku mendengarkan dalam keterperangahan yang tak perlu kucoba jelaskan, sebuah sapuan angin keras dan cepat, lepas keluar dari kabut yang bersandar seolah digerakkan tongkat seorang penyihir.
“Aku menemukan diriku di kaki sebuah gunung tinggi, dan tengah melihat turun ke sebuah dataran luas, di mana berkelok sebuah sungai megah. Di tepi sungai ini berdiri sebuah kota yang tampak seperti kota di dunia bagian timur, layaknya yang kita baca di kisah-kisah Arab, namun dengan karakteristik yang bahkan lebih ganjil dari apapun yang dijelaskan di sana. Dari posisiku, yang jauh di atas ketinggian kota, aku bisa menangkap setiap pojok dan sudutnya, seakan-akan digambarkan di atas sebuah peta. Jalan-jalannya tak terbilang jumlahnya, dan silang-menyilang tak beraturan di semua arah, namun lebih mirip gang-gang meliuk ketimbang jalan, dan bukan main dikerubuti penduduk. Rumah-rumahnya bukan alang-kepalang elok. Di mana-mana terdapat lautan balkon, beranda, menara masjid, tempat-tempat keramat, dan jendela-jendela kantilever yang dipahat fantastis. Penuh dengan bazar; dan di sana terpamer perangkat-perangkat mewah yang tak terhingga jenisnya dan berlimpah-limpah—sutra, kain muslin, peralatan makan paling berkilau, permata dan perhiasan paling indah. Selain benda-benda ini, tampak di segala sisi, panji-panji dan usungan-usungan yang diduduki wanita-wanita agung berkudung tertutup, gajah-gajah yang dikenakan pakaian begitu indahnya, berhala-berhala yang ditetak ke bentuk-bentuk asing, gendang-gendang, panji-panji dan gong-gong, tombak-tombak, perak, dan tongkat-tongkat kerajaan bersepuh emas. Dan di tengah kerumunan, dan suara riuh-rendah, dan keruwetan dan kekacauan orang-orang—di tengah berjuta pria-pria berkulit hitam dan kuning, yang bersorban dan berjubah, dan janggut-janggut yang menjuntai, berkeliaranlah samudra sapi-sapi berikat kepala suci yang tak terhitung jumlahnya, sementara selegiun besar laskar kera yang dekil namun dikeramatkan memanjat lambat, mengoceh dan memekik, di seantero profil masjid-masjid, atau menggelayut di menara-menara masjid dan jendela-jendela kantilever. Dari jalan-jalan yang dikerubuti hingga ke bibir-bibir sungai, turunlah undakan pijakan yang mengarah ke tempat-tempat pemandian, sementara sungainya sendiri tampak menyempil-nyempil susah payah melewati searmada besar kapal berbeban berat yang membentang-bentang mengarungi permukaannya. Di luar batas-batas kota berdirilah, dalam sekelompok megah nan rapat, pohon-pohon palem dan kakao, bersama pohon-pohon raksasa dan aneh lainnya yang lanjut usia; dan di sana-sini tampaknya terlihat sebuah sawah, gubuk buruh tani beratap alang-alang, sebuah waduk, sebuah kuil terpencil, sebuah kemah kaum kelana, ataupun seorang pelayan gemulai yang sendiri berjalan, dengan kendi di atas kepala, menuju pinggiran sungai nan permai.
English to Indonesian: Breakfast with Socrates -Robert Rowland Smith, 2009 General field: Social Sciences Detailed field: Philosophy
Source text - English Time for Bed. You’ve had quite a day—fending off the savage hordes on the way to work, running for your life at the gym, keeping your friends from plotting against you—and you can look forward to some well-earned rest. Tomorrow you’ll fight another day, but for now, as night draws in, blessed slumber is yours. Unless you’re an insomniac, tormented by the demidevils who swarm into your mind and prick it with tiny pitchforks of worry, you are, for a few treasured hours, being let off the hook.
And this going off duty is so important because it suggests that, apart from restoration, the main function of sleep is to treat us with compassion, and it’s captured in W.H. Auden’s “Lullaby”:
Lay your sleeping head, my love,
Human on my faithless arms;
Time and fevers burn away
Individual beauty from
Thoughtful children, and the grave
Proves the child epheremal;
But in my arms till break of day
Let the living creature lie,
Mortal, guilty, but to me
The entirely beautiful
As you fall asleep—and the idea of falling matters, because it’s about surrendering control and responsibility—your humanity rises, since there’s nothing, while sleeping, you can do to stand out, no action you’ll be taking, by definition, to demarcate you from others or testify to your specialness. Though polarized in the cut and thrust of daylight, prince and pauper, saint and sinner, all, as unconscious bodies, are smoothed out by the hand of sleep. Literally a leveling experience, the state of lying asleep displays each resting head as equal, no matter what heroism, or villainy, it perpetrated that day. That “sleeping head” is only “human”.
It’s almost impossible to judge or condemn the sleeping face—you’d need even the wickedest criminal to wake up before you could really start to feel scorn—for the sleeping face presents an innocence that has nothing to do with morality. Partly it’s a sheer defenselessness of those who are asleep, of course, but if it’s not moral innocence you read on the closed eyelids and slowly beating pulse of the neck of those who sleep, it’s the innocence of being unclaimed, of not being associated with this or that, of holding back from belonging. You have to wait until they get up to know where sleepers stand, and so, during sleep’s intermission, you can only suspend judgment. By the standard of daylight, the sleeping head in the poem may well be “guilty”, but when Auden asks us to “let the living creature lie”, it’s so as not to disturb this fragile hiatus. The state of amoral innocence is precious, and we should let it be. There will be plenty of time for accusations tomorrow.
Not the least reason for suspending judgment of the sleeping head is that it’s already sentenced to being “mortal”, a fact proved by our need to sleep at all. No, we are not superhuman, unlike immoral deities, for whom the very fact that they’re immortal means their energy knows no limit and they’ve no need to recharge themselves.
Conversely, therefore, for us, it’s because we die that we need to sleep. You might think that sleeping would give us more energy to keep going longer, but no: the fact we need to sleep at all means our energy is finite, because our life is finite too. By referring to the “grave”, Auden shows how the bed prefigures the big sleep to come, the tiredness proves “the child ephemeral,” for even the young, with their whole life ahead, have their expiration built in. Fatigue, fallibility, and finitude—three human conditions sleep exists to recognize.
And yet beneath the peacefulness on the face of those who sleep—a state that elicits a forgiving calm of your own—are fireworks to outglow most things in waking life. The body may be at rest, but the mind, far from taking a break, goes into overdrive, inventing fantasies like there’s no tomorrow; so rich and remarkable are the dreams you dream, it’s as if every other system in your body that may use up energy had to be shut down. In this sense, sleep is a great deceiver; it might look like innocence, but who knows what guilty secrets are showing in the cinema of the mind. The strange thing is, the dreamer is deceived too.
Translation - Indonesian Saatnya tidur. Kau sudah menghadapi hari yang lumayan berat—menangkis buasnya tumpah ruah manusia di perjalanan menuju tempat kerja, menyelamatkan diri ke pusat-pusat kebugaran, mencegah teman-temanmu berkomplot melawanmu—dan barangkali kau menanti-nanti waktu istirahat yang layak. Esok kau akan menggeluti hari lainnya, namun untuk sekarang, ketika malam beranjak datang, tidur lelap terberkati adalah milikmu. Kecuali kau pengidap insomnia—yang disengsarakan oleh mahluk-mahluk setengah iblis yang mengerubuti pikiranmu dan menyucuknya dengan garu kekhawatiran—kau, untuk beberapa jam tak ternilai, tengah terluput dari segala kewajiban.
Dan bebas tugas satu ini begitu penting, karena ia berpendapat, bahwa selain restorasi, fungsi utama tidur adalah untuk memperlakukan kita dengan penuh belas kasih, dan ini tertangkap dalam “Lagu Penghantar Tidur” karya W.H. Auden:
Baringkan kepalamu yang tertidur, kasihku
Manusia di lenganku nan tak beriman
Waktu dan gejolak terbakar pergi
Keelokan individual dari
Anak-anak pemikir, dan kubur
Membuktikan efemeralnya masa kanak-kanak
Namun dalam pelukanku hingga menyingsingnya fajar
Biarkan mahluk hidup itu berbaring
Fana, bersalah, namun bagiku
Indah yang seluruhnya
Ketika kau jatuh tertidur—dan perihal jatuh menjadi perkara, karena ini tentang menyerahkan kendali dan tanggung jawab—humanitasmu bangkit, karena saat tidur, tak ada apa pun yang bisa kau lakukan untuk menjadi unggul, dan dengan demikian, tidak ada aksi apa pun yang bisa kau lancarkan, untuk memagari dirimu dari orang lain ataupun untuk bersaksi akan kespesialan dirimu. Walau terpolarisasi dalam sodokan dan memintasnya fajar, pangeran dan gembel, orang suci dan pendosa, semuanya, sebagai raga-raga tak sadarkan diri, dibaur rata oleh tangan keterlelapan. Sebuah pengalaman penyamarataan dalam arti sebenarnya, keadaan berbaring tertidur memperlihatkan setiap kepala yang beristirahat sebagai setara, tak peduli heroisme atau kekejian apa yang ia lakoni siang harinya. “Kepala yang sedang tidur” itu hanyalah “manusia”.
Nyaris mustahil untuk menghakimi atau mengutuk wajah yang sedang tidur—bahkan seorang kriminal paling busuk—kau butuh ia bangun, sebelum kau benar-benar mulai bisa merasa jijik, karena wajah yang sedang tidur itu menampilkan sebuah ketakbersalahan yang tak ada hubungannya dengan moralitas. Tentu saja, secara sebahagian, hal itu yakni ketidakberdayan belaka dari mereka yang tertidur, namun kalaupun bukan kepolosan moral yang kau baca di kelopak mata yang tertutup atau denyut yang berdetak perlahan pada leher mereka yang tidur, yang kau baca adalah kepolosan akan sesuatu yang tidak sedang diklaim, yang tidak sedang diasosiasikan dengan ini atau itu, yang sedang bertahan untuk tidak kembali ke dunianya. Kau mesti menunggu hingga mereka bangun untuk tahu orang-orang yang tidur itu berada di pihak mana, dan dengan begitu, selama jeda tidur, kau hanya bisa menangguhkan penghakiman. Oleh standar si fajar, kepala yang tertidur dalam puisi itu agaknya “bersalah”, namun ketika Auden meminta kita untuk “membiarkan mahluk hidup itu berbaring”, itu supaya kita jangan mengusik rumpang rapuh ini. Keadaan dalam ketakbersalahan nonmoral berharga adanya, dan kita harus membiarkannya tetap seperti itu. Toh, esok akan ada banyak waktu untuk tuduhan-tuduhan.
Alasan yang bukan paling sepele untuk menangguhkan penghakiman terhadap kepala yang tertidur itu adalah, bahwa ia sudah dijatuhi hukuman menjadi “fana”, sebuah fakta yang sepenuhnya dibuktikan oleh kebutuhan kita akan tidur. Bukan, kita bukan manusia super, tidak seperti dewa-dewi yang tak bisa mati, yang mana pada faktanya, mereka tak bisa mati berarti energi mereka tak mengenal batas dan mereka sendiri tak perlu mengisinya ulang. Jadi kebalikannya, untuk kita, karena kita nantinya mati maka kita perlu tidur. Kau mungkin berpikir bahwa tidur akan memberi kita energi lebih banyak untuk bertahan lebih lama, tapi tidak: fakta bahwa kita memerlukan tidur sama sekali berarti bahwa energi kita berhingga (finite), dan nyawa kita pun berhingga (finite). Dengan merujuk pada “kubur”, Auden menunjukkan bagaimana tempat tidur menjadi pertanda akan tidur besar yang akan datang, rasa lelah membuktikan “efemeralnya masa kanak-kanak”, karena bahkan orang-orang muda, dengan segenap kehidupan mereka di depan sana, memiliki kedaluwarsa bawaan yang sudah terpasang. Kepenatan, falibilitas, dan keterhinggaan—tiga kondisi manusia, yang mana tidur ada, untuk mengenali ketiganya.
Namun tetap saja, di balik damainya wajah-wajah mereka yang tidur—sebuah keadaan yang menggali ketenangan penuh ampunan dari dirimu sendiri—di baliknya ada kembang-kembang api, untuk menyala-nyalakan sebagian besar hal di kehidupan nan terjaga (waking life). Raga barangkali beristirahat, namun pikiran, jauh dari rehat, heboh menambah kecepatan, menemukan fantasi-fantasi seakan tak ada hari esok; betapa kaya dan luar biasanya mimpi-mimpi yang kau impikan, seolah setiap sistem lain dalam tubuhmu yang mungkin menggunakan energi harus dimatikan. Dalam segi ini, tidur adalah seorang penipu ulung, ia barangkali terlihat tak bersalah, tapi siapa gerangan yang tahu rahasia-rahasia gelap apa yang sedang bermain di bioskop pikiran. Anehnya, si pemimpi juga tertipu.
Indonesian to English: Mimpi Jalanan: Arsitektur yang Hijau Abadi -Angel G. , 2013 General field: Art/Literary
Source text - Indonesian Percik-percik cahaya kuning lampu gang menaungi mereka dalam hangatnya cahaya jingga bak suasana merah terowongan tambang. Nathan bisa menangkap bayangan tiang jatuh tepat di antara mata Michelle yang berkilat memohon. Menyerah oleh rasa sayang, ia mendekap adiknya lembut, menjewer telinganya pelan, “Tapi kau janji, selalu dekat-dekat denganku di sana! Dasar kau, gadis lollipop kecilku! Selalu ingin ikut aku ke mana-mana.”
Michelle tersenyum mengecup pipi Nathan. Senyum yang sama semenjak gadis itu masih seorang kanak mungil dengan lollipop menempeli mulutnya ke mana pun, hingga sekarang, menjadi gadis cantik berlekuk dada yang selalu Nathan lindungi dari pria-pria yang mengencaninya. Gadis yang akan selalu menjadi malaikat kecilnya.
“Do I look good enough to step to the club?” Michelle memandang sepatu kanvasnya yang usang pudar, “Aku sampai mencuci sepatu terbaikku malam ini agar tidak membuatmu malu.”
“All is good, Baby,” Nathan tersenyum menempelkan kening mereka, mata di bawah poni ikal Julias Caesar-nya mendadak menghangat, “Come on, where’s my lil’ lollipop girl at?” katanya menjulurkan sepasang kelingkingnya.
“I’m still here. Everything’s OK,” Michelle mengaitkan kedua kelingkingnya sendiri pada kelingking Nathan, nyengir lebar, “We’ll get through this.”
“Oke, sebelum ke club, kau ikut aku mengambil turntable di apartemen Sean. Tapi sebelumnya, kita balapan lari ke ujung gang, ya?” Nathan menunjuk ujung mulut gang beberapa puluh meter di depannya. Siluet mobil-mobil mewah yang berlalu lalang kencang di Down North Road silih berganti meluncur seperti pusaran bayangan terang di tengah pekat malam, menghiasi lorong itu dengan cahaya hilang timbul setiap melintas di depannya, “Yang pertama sampai, harus mencuci piring semua orang selama dua hari berturut-turut.”
Michelle tersenyum miring, “Siapa takut?”
“Satu. Dua... Tiga!”
Keduanya berkejaran, Nathan dengan sneaker bengkaknya disusul Michelle dengan sepatu kanvas merah mudanya. Sesekali mereka menginjak kerikil-kerikil kecil yang bertaburan di sepanjang gang dan nyaris tergelincir. Kepulan debu dan pasir halus berpusar setinggi betis ketika kaki-kaki itu berlari dengan baju berkibar.
“Kau lihat mobil-mobil mewah di mulut gang?” Michelle berteriak mengejar Nathan, “Suatu saat kita akan duduk di dalamnya!”
“Yeah!!” Nathan berlari zig-zag menggoda Michelle, “In the Ferrari one or Lamborghini like Sean’s!”
Keduanya tertawa-tawa, sesekali Nathan harus menukik oleng saat Michelle menarik-narik ujung kemejanya untuk merebut tempat pertama. Tergelak-gelak menelan debu gang di bawah kubah langit musim panas yang berhias bintang.
Membangunkan dunia dari lelapnya.
Mencoba merenda tawa, ketika asa dipertaruhkan agar tak kehilangan nada.
Translation - English The splatters of yellow light from the alley lamps sheltered them in the warmth from orange luminance akin to the reddish ambiance in a mine tunnel. Nathan could perceive the shadow of a lamp pole falling right between Michelle’s shimmering, pleading eyes. Succumbed to affection, he cuddled his younger sister dearly, tenderly tweaked her ear, “But promise me, you stay close to me once we get there! You, my little lollipop girl! Always wanting to follow me around.”
Michelle beamed, kissing Nathan on the cheek. The same beam since she was a petite tot frolicking anywhere with a lollipop in her mouth until turning into a full-bosomed beautiful damsel Nathan unremittingly protected from any men dating her. A girl who would always be his little angel.
“Do I look good enough to step to the club?” Michelle looked down at her worn-out, faded canvas shoes, “I even washed my best shoes so I won’t have to embarrass you tonight.”
“All is good, Baby,” Nathan smiled, resting his forehead against hers, eyes below his Julius Caesar’s bang warmed on the spur of the moment, “Come on, where’s my lil’ lollipop girl at?” he said, giving her his little finger.
“I’m still here. Everything’s OK,” Michelle hooked her own little finger with Nathan’s, grin broadening, “We’ll get through this.”
“Okay, before getting into the club, you come with me taking the turntable at Sean’s apartment. But before the real show, we’re going to race to the end of the alley, okay?” Nathan indicated the alley’s mouth tens of meters ahead of them.
Silhouettes of fancy cars flew by on Down North Road, one after another rocketing like refulgent vortexes of shadows in the black of the night, beautified the aisle with on and off lambency every time they passed across in front of it, “The last one getting there will do everybody’s dishes for two days in a row.”
Michelle gave him a slanted smile, “No big deal!”
“One. Two… Three!”
They both outran each other, Nathan in his puffy sneakers, Michelle after him in her pink canvas shoes. Once in a while they stumbled on tiny gravels strewn over the alley and nearly skidded. Billowing clouds of dust and powdery sand whirled up their calves high as those feet sprinted in fluttering clothes.
“You see the fancy cars on the end of this alley?” Michelle shouted, zipping after Nathan, “One day we’ll be sitting in one of them!”
“Yeah!!” Nathan hared zigzag to tease Michelle, “In the Ferrari one or Lamborghini like Sean’s!”
They both laughed out loud, every now and then Nathan had to swoop and totter when Michelle tugged at his shirt to take the first place. They guffawed, swallowing the alley’s dust underneath the vault of summer sky adorned with stars. Waking the world up from its slumber.
Trying to weave laughter, when hopes were gambled so they would not lose pitch.
English to Indonesian: A Tale of the Ragged Mountain -Edgar Allan Poe, 1844 General field: Art/Literary
Source text - English During the fall of the year 1827, while residing near Charlottesville, Virginia, I casually made an acquaintance of Mr. Augustus Bedloe. This man was remarkable in every respect, and excited in me a profound interest and curiosity. I found it impossible to comprehend him either in his moral or physical relations. Of his family I obtained no satisfactory account. Whence he came, I never ascertained. Even about his age—although I called him a young gentleman—there was something which perplexed me in no little degree. He certainly seemed young—and he made a point of speaking about his youth—yet there were moments where I should have had little trouble in imagining him hundred years of age. In no regard was he more peculiar than in his personal appearance. He was singularly tall and thin. He stooped much. His limbs were exceedingly long and emaciated. His forehead was broad and low. His complexion was absolutely bloodless. His mouth was large and flexible, and his teeth were more wildly uneven, although sound, than I had ever before I seen teeth in a human head. The expression of his smile, however, was by no means unpleasing, as might be supposed: but it had no variation whatever. It was one of a profound melancholy—of a phaseless and unceasing gloom. His eyes were abnormally large, and round like those of a cat. The pupils, too, upon any accession or diminution of light, underwent contraction or dilatation, just such as is observed in the feline tribe. In moments of excitement the orbs grew bright to a degree almost inconceivable; seeming to emit luminous rays, not of a reflected but of an intrinsic lustre, as does a candle or the sun; yet their ordinary condition was so totally vapid, filmy, and dull, as to convey the idea of the eyes of a long-interred corpse.
These peculiarities of person appeared to cause him much annoyance, and he was continually alluding to them in a sort of half explanatory, half apologetic strain, which, when I first heard it, impressed me very painfully. I soon, however, grew accustomed to it, and my uneasiness wore off. It seemed to be his design rather to insinuate than to directly assert that, physically, he had not always been what he was—that a long series of neuralgic attacks had reduced him from a condition of more than usual personal beauty, to what which I saw. For many years past he had been attended by a physician, named Templeton—an old gentleman, perhaps seventy years of age—whom he first encountered at Saratoga, and from whose attention, while there, he either received, or fancied that he received, great benefit. The result was that Bedloe, who was wealthy, had made an arrangement with Dr. Templeton, by which the latter, in consideration of a liberal annual allowance, had consented to devote his time and medical experience to the care of the invalid.
Doctor Templeton had been a traveler in his younger days, and at Paris had become a convert, in great measure, to the doctrine of Mesmer. It was altogether by means of magnetic remedies that he had succeeded in alleviating the acute pains of his patients; and this success had naturally inspired the latter with a certain degree of confidence in the opinions from which the remedies had been educed. The doctor, however, like all enthusiasts, had struggle hard to make a thorough convert of his pupil, and finally so far gained his point as to induce the sufferer to submit to numerous experiments. By a frequent repetition of these, a result had arisen, which of late days had become so common as to attract little or no attention, but which, at the period of which I write, had very rarely been known in America. I mean to say, that between Dr. Templeton and Bedloe there had grown up, little by a little, a very distinct and strongly-marked rapport, or magnetic relations. I am not prepared to assert, however, that the rapport extended beyond the limits of the simple sleep-producing power; but this power itself had attained great intensity. At the first attempt to induce the magnetic somnolency, the mesmerist entirely failed. In the fifth or sixth it succeed very partially, and after long continued effort. Only at the twelfth was the triumph complete. After this the will of the patient succumbed rapidly to that of the physician, so that, when I first became acquainted with the two, sleep was brought about almost instantaneously by the mere volition of the operator, even when the invalid was unaware of his presence. It is only now, in the year of 1845, when similar miracles are witnessed daily by thousands, that I dare venture to record this apparent impossibility as a matter of serious fact.
Translation - Indonesian Di musim gugur tahun 1827, saat bermukim di dekat Charlottesville, Virgina, aku tak sengaja berkenalan dengan Agustus Bedloe. Pria ini serba mencolok, dan membangkitkan dalam diriku sebuah ketertarikan mendalam dan rasa penasaran. Kukira mustahil memahaminya, baik yang terkait moral atau fisiknya. Mengenai keluarganya tak kuperoleh keterangan memuaskan. Dari mana dia muncul, aku tak pernah tahu pasti. Bahkan tentang usianya—meskipun aku menyebutnya seorang pria muda—ada sesuatu yang membuatku tercengang bukan kepalang. Ia tentunya terlihat muda—dan dia pasti saja bercakap tentang masa mudanya—namun tetap ada saat-saat di mana tak akan terlalu sulit bagiku untuk bisa membayangkannya berumur ratusan tahun. Ditimbang bagaimanapun, penampilan dirinya tetap jadi yang paling aneh. Ia tinggi mencuat dan kurus. Ia sering membungkuk. Tungkainya keterlaluan panjangnya dan kering kerontang. Keningnya lebar dan rendah. Warna kulitnya sungguh pucat pasi. Mulutnya lebar dan lentur, dan giginya lebih-lebih, bukan main tak rata, walaupun berkondisi bagus, dibanding gigi-gigi yang pernah kulihat di kepala manusia. Meskipun demikian, tak seperti yang diduga, ekspresi senyumnya—sungguh―bukannya tidak menyenangkan, melainkan monoton tanpa variasi atau apa pun. Ia kemurungan melubuk yang tak ada duanya—dari kesuraman tanpa fase dan tak kunjung henti. Matanya besar abnormal, dan bulat bak mata kucing. Juga pupilnya, dalam setiap merebak atau meredupnya cahaya, mengerut atau memuai, tetap seperti mata yang kau lihat di suku binatang kucing-kucingan. Di saat-saat bergairah biji mata itu tumbuh terang hingga tingkat yang nyaris tak termaklumi; tampak melepaskan berkas-berkas sinar benderang, bukan dari pantulan melainkan kemilau yang terkandung di dalamnya, seperti halnya sebatang lilin atau matahari; namun dalam keadaan biasa sungguh begitu tawar, buram, dan pudar, seperti menyampaikan gambaran mata mayat yang sudah lama dikubur.
Keganjilan dirinya ini tampak membuatnya amat jengkel, dan dia terus-terusan menyinggungnya dengan semacam jerih payah yang setengah menjelaskan, setengah membela diri, yang mana, ketika aku pertama mendengarnya, membuatku sangat terenyuh. Walaupun begitu, aku segera terbiasa dengannya, dan kegelisahanku berangsur-angsur berkurang. Tampaknya memang kesengajaannya untuk lebih memilih berisyarat ketimbang terang-terangan menegaskan bahwa, secara fisik, dulu ia tak melulu seperti sekarang—bahwa serentetan panjang serangan saraf sudah menjatuhkannya dari sebuah kondisi penampilan fisik yang tak terbilang buruk, ke apa yang aku lihat. Bertahun-tahun lalu ia diurus seorang dokter, namanya Templeton—seorang pria tua, barangkali tujuh puluh tahun—yang pertama kali ia temukan di Saratoga, yang mana dari perhatiannya selama di sana, ia mendapatkan—atau berangan-angan akan mendapatkan―sebuah manfaat besar. Alhasil Bedloe yang kaya-raya bersepakat dengan Dr. Templeton—yang mana dengan pertimbangan sebuah bayaran tahunan berlimpah, bersedia mencurahkan waktu dan pengalaman medisnya demi perawatan orang penyakitan.
Dokter Templeton merupakan seorang pelancong di masa-masa mudanya, dan di Paris, dia sudah berubah menjadi penganut sebagian besar doktrin Mesmer. Itu semua oleh karena penawar magnetis yang membuatnya sukses meredakan rasa sakit akut pasiennya; dan kesuksesan ini secara alamiah sudah membuat para pasien sedemikian rupa percaya pada anggapan-anggapan dari mana penawar itu diperoleh. Di sisi lain, si dokter, layaknya semua orang keranjingan, sudah berjuang keras untuk membuat perubahan menyeluruh pada pupil Bedloe, dan akhirnya, sampai sejauh itu berhasil memancing si penderita untuk memasrahkan diri ke dalam banyak eksperimen. Dengan pengulangannya yang acapkali, sebuah hasil muncul, yang mana dulu sudah begitu lumrah hingga hanya akan menarik sedikit perhatian atau tidak sama sekali, namun yang mana, di kurun waktu aku menulis, sudah sangat jarang dikenal di Amerika. Maksudku untuk bilang, bahwa antara Dr. Templeton dan Bedloe, di sana sudah bertumbuh, sedikit demi sedikit, sebuah ikatan yang begitu khas dan kentara jelas—jalinan magnetis. Walau begitu, aku belum bersedia menegaskan, bahwa ikatan itu menjangkau melampaui batas kekuatan sebuah penghasil tidur biasa—akan tetapi, kekuatan ini sendiri sudah mencapai intensitas hebat. Pada percobaan pertama untuk menginduksi rasa kantuk magnetis, penghipnotis sepenuhnya gagal. Di yang kelima dan keenam hanya sukses sebagian kecil, itu pun setelah usaha panjang yang terus menerus. Baru saat kedua belas kalinya percobaan berhasil seutuhnya. Setelah ini kehendak pasien lekas tunduk pada kehendak dokter, itu mengapa, ketika aku pertama berkenalan dengan keduanya, lelap datang hampir seketika itu juga dengan semata kemauan si dokter pembedah, bahkan ketika si sakit tidak menyadari kehadiran pembedah itu. Dan baru sekaranglah, di tahun 1845, ketika keajaiban-keajaiban serupa disaksikan sehari-harinya oleh ribuan mata, aku tak gentar mengambil risiko demi mencatat kemustahilan yang jelas-jelas terlihat ini sebagai suatu perkara dari fakta serius.
English to Indonesian: Breakfast with Socrates -Robert Rowland Smith, 2009 General field: Social Sciences Detailed field: Philosophy
Source text - English To crack the code, we must turn to Freud, whose Interpretation of Dreams marked, at the turn of the nineteenth century and into the twentieth, a bridge from naivete to knowledge, since when it’s become less easy to write off dreams as innocuous froth or bizarre fancy. Of course, there had been theories of dreams for centuries before, and Freud’s masterwork opens with a survey of what he considers the pre-scientific era, before, that is, the psychoanalytic academy he founded brought to dream analysis due rigor and method. Broadly, this was a period of superstition, which took dreams to be visitations by forces either demonic or divine, keen to transmit messages to their terrestrial kin. Which might explain the dream’s prophetic quality: if it provides you with premonition, it’s not that overnight you’ve acquired the physic powers of a shaman; rather, your mind was turned into a deposit box for the use of prescient spirits who left in the riddling warnings about the shape of things to come.
From that benighted tradition, Freud nevertheless preserves two concepts. The first is the dream as a missive. Of course, it would be odd to think dreams entirely devoid of message and therefore meaning—how would you explain them otherwise? Perhaps if every single night you dreamed the identical dream, you might write it off as for example, a bodily reflex caused by the dwindling during the sleep of the metabolic rate. But because the variation from dream to dream is so huge, because each night the theatre put on a new show—one time you’re a baboon climbing over a photocopier, another your mother has dyed her hair green—it’s almost perverse not to infer from that variety of significance. Why differ if not carry different portents?
Accordingly, Freud continues to believe the dream a massage, but rather than assuming its meaning was sent down from a mysterious cloud, he says it gurgles up from within, making it a message to oneself. True, that mysterious cloud might itself produce a variety of dreams, and therefore be seen to be generating meaning, but because Freud wants to present himself as enlightened scientist, he won’t be doing with such arcane. In effect, that’s the first step toward making dream study scientific: the dream is located in the sphere, the brain, that unlike the realm of the spirits, is knowable; by having its provenance located in the person that hosts it, the dream may submit more usefully to the scrutiny of the scientist, especially the scientist equipped with the implements, the trowels and tape measures for mental archeology.
So Freud is saying that when you dream, it is indeed you that’s dreaming, rather than some external agency rolling out your psyche as a screen for its own communications. Wish or whimsy, sex or sadism, fright or flight, the stuff of dreams redounds to you, with no one else to point the finger at. You can’t plead innocence of your dream, without reverting to the theory of being visited by spirits which Freud was so keen to overcome. Put that together with Freud’s second borrowing from the ancient tradition, that dreams are secret, and the mixtures explodes. These most inner images, the ones that come to you in the privacy of sleep, in the unguardedness of lying down and from your psychic midst—this phantomic caravan of images generated by you and you alone aren’t just bizarre to those you might report them to, they’re unintelligible even to you, their author. Fine, the ancients might have considered dreams enigmatic, but being the works of shadowy spirits, angels or demons, what else would you expect? If such spirits didn’t communicate in runes, they’d be less than supernatural and you’d be disappointed. But to think you might speak to yourself with similar equivocation, that you might send yourself messages to defeat your own interpretation of them, takes the power of dream to another level. The fact that we dream means, in the world of Nietzsche, “we are strangers to ourselves.”
Translation - Indonesian Untuk meretas kode itu, kita harus beralih pada Freud, yang tulisannya, Interpretasi Mimpi, pada peralihan abad kesembilan belas hingga ke abad dua puluh, memarkahi jembatan dari kepolosan (naivete) ke pengetahuan, semenjak mana menjadi kian tak mudah untuk menuliskan mimpi-mimpi sebagai remeh-temeh tak berbahaya atau khayalan ganjil. Tentu saja, telah ada teori-teori berkenaan mimpi selama berabad-abad sebelumnya, dan mahakarya Freud berawal dengan sebuah survei akan apa yang ia anggap sebagai era pra-saintifik, di mana sebelumnya di masa itu, akademi psikoanalisis yang ia dirikan mempersembahkan metode dan keketatan yang tepat bagi analisis-analisis mimpi. Secara garis besar, era pra-saintifik ini merupakan periode superstisi, yang meyakini mimpi sebagai kunjungan, baik oleh kekuatan-kekuatan iblis ataupun ilahi yang berapi-api mentrasmisikan pesan-pesan ke sanak-saudara mereka di bumi. Apa yang menjelaskan kualitas profetik mimpi, barangkali: jika ia menyediakanmu premonisi, bukannya dalam semalam itu juga kau akan memperoleh kekuatan psikis seorang shaman, alih-alih, pikiranmu telah diubah menjadi sebuah kotak deposit yang digunakan oleh roh-roh penerawang yang meninggalkanmu dengan peringatan-peringatan berteka-teki akan bentuk-bentuk hal yang akan datang.
Dari tradisi buta tersebut, Freud tak urung mempertahankan dua konsep. Yang pertama adalah mimpi sebagai secarik surat. Tentu saja, akan aneh untuk berpikir bahwa mimpi adalah seluruhnya tanpa makna, lantas sekarang—bagaimana kau akan menjelaskan sebaliknya? Barangkali jika di setiap malam yang berbeda kau memimpikan mimpi yang identik, kau mungkin menuliskannya sebagai misalnya, sebuah refleks ragawi yang disebabkan oleh penurunan berangsur laju metabolisme saat tertidur. Namun karena keragaman dari mimpi ke mimpi begitu bermacam, karena setiap malamnya si bioskop memainkan sebuah pertunjukan baru—suatu kali kau menjadi babun yang memanjat di atas mesin fotokopi, lain kalinya ibumu menyemir rambutnya hijau—namanya nyaris kepala batu untuk tidak menarik kesimpulan dari keragaman nan signifikan itu. Toh, kenapa harus beda kalau memang tidak mengusung isyarat yang berbeda?
Demikianlah, Freud terus memercayai bahwa mimpi adalah sebuah pesan, namun alih-alih berasumsi bahwa arti mimpi dikirim turun dari sebuah awan misterius, ia berkata bahwa mimpi berdeguk dari dalam, menjadikannya sebuah pesan untuk diri seseorang. Benar, bahwa awan misterius itu sendiri mungkin memproduksi sebuah keragaman mimpi, dan dengan begitu terlihat seperti menghasilkan makna, namun karena Freud ingin mempresentasikan dirinya sebagai ilmuwan tercerahkan, dia tak akan mau berurusan dengan kegaiban. Efeknya, itulah langkah pertama dalam membuat studi mimpi saintifik; bahwa mimpi tersebut ditempatkan dalam sebuah lingkar, yakni otak, yang mana tak seperti alam roh, mimpi itu terketahui (knowable); dengan memperoleh muasalnya yang berlokasi dalam si orang yang menjadi tuan rumah, mimpi bisa saja mengikutkan dirinya secara lebih bermanfaat bagi penelusuran si ilmuwan, khususnya ilmuwan yang diperlengkapi dengan perkakas, sekop dan meteran untuk penemuan arkeologi mental.
Jadi Freud bilang bahwa saat kau bermimpi, sungguhlah kau yang bermimpi, alih-alih kuasa eksternal yang memutar psike dirimu layaknya sebuah layar untuk komunikasinya sendiri. Pinta (wish) atau tingkah mendadak (whimsy), seks atau sadisme, hidup dalam takut atau kabur dari takut, ihwal mimpi berbuah untukmu, tak ada orang lain yang bisa dituding. Kau tak bisa berdalih membela ketakbersalahan mimpimu tanpa kembali ke si teori tentang dikunjungi roh-roh, yang mana Freud berapi-api untuk menaklukan teori itu. Gabungkan hal tersebut dengan pinjaman kedua Fred dari tradisi kuno—yaitu mimpi adalah rahasia—dan runtuhlah kebenaran dari percampurannya. Gambar-gambar yang paling melubuk ini, yang menyongsongmu dalam kepribadian tidur, dalam ketakterkawalan saat rebah berbaring dan dari tengah-tengah psike dirimu—karavan kehantuan berisi gambar yang dihasilkan olehmu dan hanya olehmu ini bukan hanya aneh bagi orang-orang kepada siapa kau barangkali melaporkannya, mereka bahkan tak terbaca olehmu, pengarang mereka. Oke, orang-orang jaman kuno barangkali sudah menganggap mimpi itu enigma, tapi sebagai kerjaan roh halus, malaikat atau setan, apa lagi yang kau harapkan? Jika roh-roh macam itu tidak berkomunikasi dalam bahasa rune, mereka jadi kurang dari supranatural dan kau akan kecewa. Namun berpikir bahwa kau barangkali berbicara pada dirimu dengan bahasa bersayap serupa, bahwa kau barangkali mengirim dirimu pesan untuk mengalahkan interpretasimu sendiri akan mimpi-mimpi, itu membawa kekuatan mimpi ke sebuah taraf lain. Dalam dunia Nietzsche, fakta bahwa kita mimpi berarti, “kita adalah orang asing bagi diri kita sendiri.”
Indonesian to English: Mimpi Jalanan: Arsitektur yang Hijau Abadi -Angel G., 2013 General field: Art/Literary
Source text - Indonesian Subuh itu hujan turun tiba-tiba, merepotkan wartawan-wartawan kota yang berkerumun kepayahan membagi tangan mereka—memegangi payung sekaligus mencatat sebanyak mungkin tentang peristiwa mengerikan yang mereka lihat.
Hutan yang biasanya hanya ditemani suara jangkrik Jerusalem cricket berkepala kentang dan kelip kunang-kunang seketika dibangunkan oleh jeritan lampu sirine merah yang berputar-putar. Tim penyelamat dan petugas-petugas berseragam hilir mudik dengan jas hujan dan walkie talkie berkeresak. Kerumunan di bawah payung hitam terselubung jas-jas wol panjang, memperlihatkan bibir gemetar biru yang menelan tempias hujan setiap berceloteh dengan geraham bergelutuk menahan dingin. Rona pucat menyelimuti pipi-pipi, sementara aroma tanah basah tercium di antara tumpukan daun kecokelatan yang serpihnya menempeli sol sepatu semua orang. Bercampur bau logam hangus, aroma memuakkan karet terbakar, dan amis darah.
“Singkirkan kameramu!!” bentak Sherrif Cooper mendorong bahu paparazi yang menghalanginya. Ia masih membungkuk dengan jemari mengejang, berusaha menghancurkan pintu mobil yang enggan membuka.
Setelah menit-menit di bawah siraman hujan, mobil ringsek yang terbalik dalam jurang dangkal itu menyerah. Pintunya terkuak.
“Abbie, beri aku apapun yang bisa memotong sabuk pengaman ini!”
Yang diberi perintah mengulurkan sebilah pisau lipat dengan lengan bergetar. Sherrif Cooper menyambarnya, serabutan memotong sabuk pengaman yang melingkari seorang pria bersimbah darah tak sadarkan diri.
“Angkat mereka berdua! Larikan ke rumah sakit! Sekarang!!”
Sean merasa tubuhnya yang terbaring di kasur tipis berguncang-guncang. Bunyi bergelutuk kerikil tergilas roda terdengar jelas di bawah badannya. Kakinya sakit seperti akan remuk. Lengannya dijalari perih panas seperti tersentuh bara. Matanya tidak mau membuka. Perutnya mual. Butir-butir tajam menembusi lehernya.
“Billy!!!” seru Sean dalam batinnya, “Bangunkan aku! Tolong! Di mana Billy...?”
“Tuhan, selamatkanlah dia!” seorang kakek tua tenggelam dalam mantel bulunya, menorehkan tanda salib pada kening seorang pria yang terkapar berdarah-darah dengan wajah rusak di atas ranjang dorong ambulan. Sebilah ranting tajam menembus dada pria itu sementara sebagian tengkoraknya terpapar dengan kulit kepala sobek, memompa gelembung darah merah setiap kali berdetak lemah.
“Tidak!” Derrick dengan kaki lunglai gemetar mengerjap-ngerjap menyembunyikan mata melelehnya, berlari mengejar dua ranjang dorong yang berjalan meloncat-loncat di atas kerikil pinggir jalan, “Ya Tuhan. Tidak!”
Kerumunan paparazi yang berusaha merubung liar membuat Derrick kehabisan kesabaran. Ia merampas sebuah kamera, menginjak-injaknya hingga remuk.
“Tinggalkan kami!!”
Pintu ambulan menutup. Rodanya melesat, mencoba bertanding melawan waktu yang bergulir di sela sisa napas korban. Mobil Sherrif dan petugas kepolisian memimpin dengan sirine meraung seperti tangis hantu, meninggalkan gerombolan wartawan dan paparazi yang tak berhasil mengorek cerita apapun.
Translation - English At twilight of the morning, the caprice of rainfall troubled the city press massing with their both hands occupied in a bother—holding umbrellas, as well at the same time penning the blood curdling tragedy they witnessed.
The woods customarily attended only by the sound from the potato-headed Jerusalem crickets and the flickers of fireflies were instantaneously aroused by the screams of red revolving sirens. The rescue team and the uniformed officers wandered about in their raincoats with walkie-talkies crackling. The multitude shaded beneath black umbrellas was shrouded in long wool coats, displaying blue lips in tremor swallowing the wind-blown droplets every time they pattered with chattering back teeth withstanding the cold. Pallid tinge cloaked the cheeks, meanwhile aroma from wet soil was given off among piles of brownish leaves whose flakes were caught in everybody’s trades. Jumbled with the smell of scorched metal, the vile stink of burnt tires, and the fishy fetor of blood.
“Pull your camera away!!” Sheriff Cooper snapped out, shoving the shoulder of a paparazzo out of his way. He still arched his back with fingers stiffening, endeavoring to smash the car door reluctant to open.
After minutes in the shower of rain, the precipitated car, wrecked upside down in the shallow ravine, yielded. The door swung agape.
“Abbie, give me anything to cut this seatbelt!”
The man given order handed out a Swiss knife with a shaking arm. Sheriff Cooper seized it, cut slapdash through the seatbelt buckling around an unconscious man bedraggled in blood.
“Carry both! Run them to hospital! Now!!”
Sean felt his body laid on a thin mattress quaking. The crunching sound of the pebbles against the grinding wheels was clearly audible under his body. His legs smarted as if they would crumble. His arms were wormed with burning sore as if stamped by hot coals. His eyes refused to open. His stomach was queasy. Shard-like dust penetrated into his neck.
“Billy!!!” Sean screamed in his heart, “Wake me up! Help out! Where’s Billy...?”
“Lord, save him!” an old man, bundled in his fur coat, with fingers incised a sign of the Cross on the forehead of an unconscious man sprawling in flood of blood with his broken face on an ambulance gurney. A sharp spike of twig impaled his chest while his cranium was partly exposed beneath tattered scalp, bubbled the red blood every time it feebly pulsated.
“No!” Derrick, legs going jelly and quivering, blinked back the well of tears in his eyes, rushing after two gurneys taking a bouncy walk on the pebbles of the street margin, “Jesus. No!”
The torrent of paparazzi exerting themselves to savagely enclose them brought Derrick to losing control. He confiscated a camera, stomped it to pieces.
“Leave us alone!!”
The ambulance door shut. The wheels hastened, strived to outspeed the time ticking among the last breath left of the victims. The Sheriff’s car and the police squad led the way before them with sirens howling like the wail of a ghost, leaving a legion of press and paparazzi who failed to scrape off any tales.
More
Less
Experience
Years of experience: 11. Registered at ProZ.com: Sep 2015.
English to Indonesian (Himpunan Penerjemah Indonesia (Association of Indonesian Translators)) Indonesian to English (Himpunan Penerjemah Indonesia (Association of Indonesian Translators))
"Learn the rule like a pro, so you can break it like an artist." -Pablo Picasso
Angel is an artist who translates, penning thoughts with the buttressing crafts of a creative worker. This philosophy buff is a street-lit author, she has been translating since 2013 for international clients, as well an ESL teacher for an international education company. She holds a bachelor's degree in architecture, be that as it may, remains a language enthusiast, and a street motivator by heart.
This user has earned KudoZ points by helping other translators with PRO-level terms. Click point total(s) to see term translations provided.